EXODUZ

Keterasingan, Mencari Rumah yang Sebenarnya

Setelah kembali dari kota kelahiran, hidupku terasa hampa, seolah berjalan tanpa tujuan. Di rumah, yang seharusnya menjadi tempat bernaung, aku justru merasa terasing. Mungkin karena aku jarang ngobrol dengan bapak, dan ibu sering menceritakan apapun kepadanya—yang membuat keinginan atau cerita yang kusampaikan tak pernah diterima sepenuhnya. Aku merasa pendapatku diabaikan, dan ruang untuk berdiskusi menjadi semakin sempit. Setiap sudut rumah terasa sempit dan panas, membuatku ingin terus melarikan diri—ke warung kopi atau ke kos teman yang jauh, sekadar mencari udara segar. Di sini, otakku seperti berhenti bekerja, segalanya terasa tak tertahankan. Tatapan tetangga yang penuh kritik hanya memperburuk suasana, mungkin karena aku jarang berbaur atau tidak pernah menggantikan bapak untuk berjaga ronda. Aku tahu, itu kesalahanku.

Perasaan ini semakin nyata sejak aku lebih sering tinggal di rumah nenek, yang berada di kaki gunung. Di sana, suasana lebih sejuk, dan setiap hari seolah menawarkan sesuatu yang baru. Ada kehangatan yang kurasakan, baik dari udara pegunungan maupun dari orang-orang yang kutemui. Di kota itu, beberapa orang benar-benar memperhatikan dan mengerti. Mereka memberikan masukan tanpa membuatku terluka, sehingga aku merasa lebih hidup dan diterima. Band-band yang rutin latihan di studio, orang-orang dengan passion yang jarang kutemui di kota ini, serta mereka yang memiliki selera musik dan seni yang sama denganku—semua itu membuatku merasa seperti menemukan “tempat"-ku. Di sana, hidup berjalan lambat, memberi ruang untuk menikmati setiap momen. Berbeda dengan di sini, di mana semua orang seolah berlomba untuk menjadi yang tercepat kaya atau memiliki mobil baru. Aku tidak nyaman dengan kehidupan yang serba cepat dan kompetitif ini.

Mungkin, perasaan ini tak lepas dari masa kecilku yang dihabiskan di pesantren. Di sana, hidup berjalan dengan lambat dan sederhana, sedikit kompetisi, tapi sayangnya selalu disuapi, yang membuatku menjadi seperti sekarang. Pengalaman di pesantren mungkin telah membentuk caraku melihat dunia—dunia yang lebih tenang, di mana aku bisa merenung dan menikmati setiap momen tanpa tekanan. Meski begitu, aku bersyukur bisa melihat dan mengalami dua cara hidup yang berbeda. Namun, kesulitan untuk beradaptasi selalu menghantui, membuatku merasa tersesat di antara dua dunia yang tak sepenuhnya kumengerti. Dan hingga tulisan ini pun selesai, pikiranku masih terus berkelana tanpa arah yang jelas, mencari tempat di mana aku benar-benar bisa berkata, “ini rumahku”.

#omong-kosong